Minggu, 11 Desember 2011

Prostitusi, Ceritamu di Banjarmasin

Berkunjung ke Prostitusi Tua di Banjarmasin 

“Mas, ayu ngamar,” ujar seorang wanita umur 40 tahunan. Wajahnya terlihat lelah. Lemak-lemak tubuhnya di pamer dengan mesra. 

Ajakan itu diberikan pada saya di sebuah penginapan daerah Banjarmasin. Penginapan tersebut meski menyediakan beberapa kamar kosong untuk di inapi, namun hampir semua kamarnya sudah berpenghuni. Nah, penghuni-penghuninya sendiri adalah para wanita tunasusila. 

Mereka sudah puluhan tahun disana. Bukan penduduk lokal. Menjajakan tubuh mulai pukul 09.00 pagi sampai dinihari ketika mereka sudah merasa lelah. Sayang rata-rata umur mereka di atas 35 tahunan. Sehingga mungkin itu yang membuat saya masih bisa bertahan dengan iman seadanya. Meski tarif mereka murah, rata-rata Rp50 ribu sekali pakai. 

Penduduk sekitar, para tukang ojek, lelaki dewasa yang rumah tangganya amburadul, sering terlihat memasuki kamar-kamar di penginapan berumur puluhah tahun itu. Lokasinya yang berada di pinggir jalan raya membuat para penikmat sex instan tadi terfasilitasi. 

Tapi kawan jangan salah. Karena pada hari-hari tertentu, misalnya malam minggu, ada juga anak-anak pria belasan tahun terlihat keluar dari salah satu kamar. Anak-anak itu terlihat malu-malu manakala penulis menatap tajam bola mata mereka. 

Sepertinya anak-anak usia produktif ini sudah tidak tahan lagi untuk bisa menyalurkan hasrat sexualnya. Mereka bisanya datang bersama beberapa teman. Masuk kedalam penginapan dengan kendaraan sementara kaca helm tetap tertutup. Ya, itu memang sudah diperkirakan. Dengan tarif Rp50 ribu, ditambah lokasinya berada di pinggir jalan raya, maka tentu anak-anak ini mudah sekali untuk mencoba “rasa” salah satu wanita paruh baya di kamar. Ironisnya, wanita-wanita itu sungguh pantas buat jadi ibunya. 

Dan seperti biasa, ketika ditanya alasan kenapa para wanita ini di umur yang lanjut malah menjadi pekerja sex, maka jawabannya sudah bisa kita duga yakni masalah biaya hidup. Oh,alangkah indahnya jawaban tersebut. Ditengah banyaknya orang-orang pendatang sukses di tanah Banjarmasin ini, mereka malah terlena, mulai dari menjejakkan kakinya pertama kali dari tanah seberang hingga sekarang berjualan tubuh adalah perkerjaan yang tak tergantikan. 

Siapa yang patut disalahkan dari keadaan tersebut? Karena dengannya anak-anak usia belia dengan mudah mengecap sex di luar nikah. Apakah kita harus menudingkan telunjuk kemarahan kepada pemerintah Banjarmasin? 

Sepertinya beralasan. Bukan apa-apa. Faktanya, penginapan tersebut sudah menjadi rahasia umum. Anak kecil sampai kakek-kakek tahu di luar kepala apa-apa yang di kerjakan oleh orang-orang di penginapan. Maka rasanya tidak mungkin jika pemerintah tidak mengatahuitentang keberadaan prostitusi ini. 

Puluhan tahun berdiri tegar. Laksana sebuah dewa. Tertawa melihat perkembangan kota di sela-sela nafas lelah para anak jalanan, menghisap lem castol di salah satu sudut penginapan. Tertawa merasakan jerit meraka yang ingin bertobat ke arah jalan kebaikan, namun kita dan penguasa sama-sama acuh. Maka, seperti itu kira-kira nasibmu, kotaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar