Ada Tanya Pribumi
Banjarmasin, kota
seribu sungai, tempat dimana saya kuliah, jurusan keguruan. Ada pernak-pernik
dalam masa-masa itu, membuat diri mengerti perjalanan sejarah yang bernama
korupsi. Ya, dari dunia kuliah dan kerja, saya lebih mengenal perajalanannya,
sepak terjangnya, dan bagaimana suksesnya, ternyata, dunia pendidikan,
organsisasi, serta birkorasi
kepemerintahan membuat korupsi terus…terus ada sebagai salah satu budaya kita.
Banjarmasin, kota
seribu sungai, aliran warna coklatnya kala musim hujan penuh sampah, seolah
tertawa sinis ke arah kami anak-anak pribumi. Meski titel sarjana berseliweran,
toh, katanya hidup keduniaan terus terperosok. Korupsi bukannya berkurang meski
sarjana keguruan, sang pendidik, terus bertambah. Karena, sang sungai juga tahu
bahwa para pendidik tidak lepas dari tanggungjawab membudayanya racun mematikan
bagi keberlangsungan negara ini.
Ambil saja salah satu
contoh sederhana, dari dunia kampus. Bukan rahasia, beberapa bahkan hampir
semua universitas mempunyai cerita penjualan ijazah atau skripsi. Ada yang
terang-terangan, adapula dengan pendekatan dosen secara personal berbisik ke
telinga mahasiswi cantik menggiurkan. Belum lagi, dunia organisasi
kemahasiswaan, jangan dikata. Lihat saja kelapangan, betapa lihainya mereka
membuat proposal kegiatan, sedang hasil laporan pertanggunjawabannya beda
dengan proses sebenarnya dari kegiatan. Maka, kasus markup, sudah di ajarkan, sobat, dari dunia pendidikan.
Tambahnya, jika kita
ingin melihat sisi lain dunia pendidikan ketika harus bersinggungan dengan
pihak pemerintah dalam bentuk finansial. Oh, kalau sudah masuk ke cerita itu,
maka selamat tinggal kejujuran. Tanya saja kepada sungai Banjarmasin, dia akan
berbisik lewat lembaran tisu usang berasal dari ruangan gubernuran, terus di
buang ke selokan dan akhirnya sampai ke perut sungai. Iya, di dalam salah satu
ruangan di gubernuran sana, katanya, sudah biasa seorang mahasiswa apabila
mencairkan dana yang besar akan memberikan pelicin terlebih dahulu kepada
oknum. Nah, lihat, sungai pun, meski berwarna coklat tapi sudah tahu dan akrab
dengan oknum.
Lantas dimana (dimana)? Dunia kerja
saja mendukung praktik-praktik demikian. Pada apa dan pada siapa sebenarnya
sekarang ini kita menaruh kepercayaan?! Sungai sendiri, terlihat lelah menjawab
tanya, ribuan tanya, anak-anak jalanan, “kami ini korban?.”
Hari semakin tinggi,
kopi sudah habis setengah, bentangan rokok menanti bara sampai ke daun tembakau penghabisan. Tetangga riuh rendah, membahas riang rencana akhir tahun, kembang api
warna apa dan ledakannya yang seperti apa. Juga ada, terlihat melintas dari
depan jendela rumah, anak wanita berpakaian merah putih dengan
sepeda ontel, nampaknya sudah terlambat ke sekolah. Gamang...melihat campur
aduknya kenyataan di kota tercinta ini. Hanya satu, masih terngiang dalam
harapan, hidup terus berlanjut kak, kata teman wanita kuliah dulu, pegang semua
kebenaran dalam perbuatan, selalu ada jalan buat ketulusan. Amin, ragu-ragu
kata itu terucap.
tepat akhir tahun
2011, Banjarmasin.