Jumat, 30 Desember 2011

Bertanya di Kota Seribu Sungai Untuk Awal Tahun


Ada Tanya Pribumi


Banjarmasin, kota seribu sungai, tempat dimana saya kuliah, jurusan keguruan. Ada pernak-pernik dalam masa-masa itu, membuat diri mengerti perjalanan sejarah yang bernama korupsi. Ya, dari dunia kuliah dan kerja, saya lebih mengenal perajalanannya, sepak terjangnya, dan bagaimana suksesnya, ternyata, dunia pendidikan, organsisasi, serta  birkorasi kepemerintahan membuat korupsi terus…terus ada sebagai salah satu budaya kita.

Banjarmasin, kota seribu sungai, aliran warna coklatnya kala musim hujan penuh sampah, seolah tertawa sinis ke arah kami anak-anak pribumi. Meski titel sarjana berseliweran, toh, katanya hidup keduniaan terus terperosok. Korupsi bukannya berkurang meski sarjana keguruan, sang pendidik, terus bertambah. Karena, sang sungai juga tahu bahwa para pendidik tidak lepas dari tanggungjawab membudayanya racun mematikan bagi keberlangsungan negara ini.

Ambil saja salah satu contoh sederhana, dari dunia kampus. Bukan rahasia, beberapa bahkan hampir semua universitas mempunyai cerita penjualan ijazah atau skripsi. Ada yang terang-terangan, adapula dengan pendekatan dosen secara personal berbisik ke telinga mahasiswi cantik menggiurkan. Belum lagi, dunia organisasi kemahasiswaan, jangan dikata. Lihat saja kelapangan, betapa lihainya mereka membuat proposal kegiatan, sedang hasil laporan pertanggunjawabannya beda dengan proses sebenarnya dari kegiatan. Maka, kasus markup, sudah di ajarkan, sobat, dari dunia pendidikan.

Tambahnya, jika kita ingin melihat sisi lain dunia pendidikan ketika harus bersinggungan dengan pihak pemerintah dalam bentuk finansial. Oh, kalau sudah masuk ke cerita itu, maka selamat tinggal kejujuran. Tanya saja kepada sungai Banjarmasin, dia akan berbisik lewat lembaran tisu usang berasal dari ruangan gubernuran, terus di buang ke selokan dan akhirnya sampai ke perut sungai. Iya, di dalam salah satu ruangan di gubernuran sana, katanya, sudah biasa seorang mahasiswa apabila mencairkan dana yang besar akan memberikan pelicin terlebih dahulu kepada oknum. Nah, lihat, sungai pun, meski berwarna coklat tapi sudah tahu dan akrab dengan oknum.

Lantas dimana (dimana)? Dunia kerja saja mendukung praktik-praktik demikian. Pada apa dan pada siapa sebenarnya sekarang ini kita menaruh kepercayaan?! Sungai sendiri, terlihat lelah menjawab tanya, ribuan tanya, anak-anak jalanan, “kami ini korban?.”

Hari semakin tinggi, kopi sudah habis setengah, bentangan rokok menanti bara sampai ke daun tembakau penghabisan. Tetangga riuh rendah, membahas riang rencana akhir tahun, kembang api warna apa dan ledakannya yang seperti apa. Juga ada, terlihat melintas dari depan jendela rumah, anak wanita berpakaian merah putih dengan sepeda ontel, nampaknya sudah terlambat ke sekolah. Gamang...melihat campur aduknya kenyataan di kota tercinta ini. Hanya satu, masih terngiang dalam harapan, hidup terus berlanjut kak, kata teman wanita kuliah dulu, pegang semua kebenaran dalam perbuatan, selalu ada jalan buat ketulusan. Amin, ragu-ragu kata itu terucap.

tepat akhir tahun 2011, Banjarmasin.

Sabtu, 24 Desember 2011

Wartawan Bukan Hartawan



Antara Harta dan Moral Wartawan


Jika ada pekerjaan yang paling dibutuhkan oleh publik sekarang ini, maka sepertinya adalah wartawan. Sudah biasa, kita setiap pagi menanti berita-berita para antek-antek jurnalis ini mengabarkan berbagai hal, lewat media cetak juga elektronik. Cerita suka atau berbagai kasus hitam sekarang sudah seperti sinetron populer, ceritanya tambah tegang namun endingnya tak pernah ketemu.

Dari itu sebagian besar masyarakat merasa kurang lengkap hari mereka jika di pagi belum sempat membaca, meski hanya judul, halaman pertama dari koran. Belum sempurna berangkat kerja tanpa tahu berita terhangat dari sebuah stasiun televisi terlebih dahulu. Maka sudah menjadi kebutuhan ternyata mengetahui berita dari media masa dalam keseharian.

Mulia memang pekerjaan mereka, para wartawan, manakala dengan beritanya, nelayan misalnya jadi tahu bahwa ada bantuan lunak dari sebuah bank tahun depan. Atau seorang guru, setelah sekian lama gajinya disunat akhirnya bisa kembali normal setelah jeritannya kepada penguasa diberitakan.

Itu salah satu cerita. Cerita lainnya sangat bertolak belakang. Tahukah anda kalau para instansi pemerintah sering mengaku kesal dengan para awak media ini? Kedatangan wartawan berkungjung ke instansi mereka bisa saja menjadi salah satu kegiatan pemborosan kas negara. Pasalnya, instansi ini entah kenapa meresa wajib untuk menyerahkan amplop kepada wartawan seusai wawancara atau liputan.

Maka anda bayangkan saja jika dalam sehari ada sepuluh wartawan berkunjung ke kantor, maka berapa banyak nominal keluar di waktu itu. Lalu bagaiman seandaianya kejadian sama berulang selama sebulan?! Tentu bukan saja petinggi instansi bersangkutan akan meradang dan dongkol setengah mati, namun juga anggaran bulanan harus terpangkas tanpa bisa diaudit, karena keluarnya amplop sudah di pesan agar semua orang berpura tida tahu.

Sedangkan wartawan sendiri, terutama mereka para peliput bidang politik kepemerintahan tahu benar akan nimatnya pekerjaan mencari berita-berita penuh miring. Kalau sudah akrab dengan pejabat, semua bisa di atur. Tinggal si wartawan pintar-pintar menyimpan kartu truf, kasus skandal pejabat, misalnya.

Bukan rahasia lagi, ketika pejabat berbisik minta tolong, katanya, agar berita itu jangan di terbitkan, cukup berita ini saja. Sembari berkata demikian tangannya trampil menyiapkan amplop ala pesulap Dedy Corbuzier. Slrup, amplop masuk kantong, berita di simpan wartawan dalam brangkas bersandi.

Bukan rahasia pula, kalau hanya dengan gajih sebatas cukup makan dan transport, wartawan mampu membeli rumah, mobil, dan perkakas mewah lainnya dalam waktu singkat. Maka bisa jadi itu adalah kumpulan dari puing-puing keringat rakyar lewat tangan politisi. Ironis, di mana rakyat justru menanti suara kebenaran, wartawan justru bermain di indahnya dunia kemunafikan para pejabat.


Jadi siapa sebenarnya wartawan ini?! Maka bagi saya pribadi, wartawan itu sebenarnya bukan mereka yang tiap hari mencari berita dan menyampaikannya ke publik, memilih berita yang aman disampaikan dan menjual sebagian berita kepada pemerintah. Mereka yang seperti itu, bagi saya tidak lebih dari sekedar manusia sakit mental, perlu dikasihani sesegera mungkin. Dan bangsa jelas tidak butuh mereka.

Bagi saya dan rakyat, wartawan adalah mereka yang mau berpanas hujan mencari kebenaran, mengabarkan kabar gembira untuk publik bahwa hak mereka masih ada di kas pemerintah bisa di ambil dalam waktu dekat.

Wartawan adalah dia, berjalan tanpa keluh menapaki siang, kadang tersesat di gelap malam. Tidur di rumah-rumah pribumi, berteman dengan alam, bercengkerama bersama nelayan juga petani. Lantas menuliskan semua itu untuk petinggi bangsa, untuk petinggi dunia bahwa kita Indonesia dari dulu dan sekarang tetap menyimpan kearifan lokal. Dimana gotong royong, tembang lir ilir, paris barantai, kambanglah bungo, jali-jali, sampai lagu yamko rambe yamko masih dan terus ada di keseharian anak-anak desa.

Bahwa kita Indonesia, ada potensi tersimpan di setiap jengkal pulau-pulaunya. Para politisi urakan, para pemimpin korup, mereka semua bukan anak bangsa, mereka hanyalah sekedar kerak yang numpang makan di tanah pusaka ini. Dan, tugas wartawan adalah dengan beritanya mengabarkan kalau Indonesia sudah selayaknya di pimpin seorang nelayan atau petani, karena itu jati diri bangsa. Bukan dipimpin barisan kerak berdasi itu.

Meski dengan mengabarkan itu para wartawan harus berdarah-darah. Semua terus di suarakan sampai nanti semua pejabat di Indonesia tahu persis bahwa kita akan menjadi bangsa besar apabila kelautan dan potensi darat menjadi milik pribumi dan di jalankan dengan gotong royong. Sedang tidak ada lagi kebanggaan menjadi presiden, karena toh presiden sendiri tidak lebih dari seorang petani tulen dan kebetulan mendapat amanat berupa cinta dari rakyat. Sungguh, wartawan adalah dia yang beritanya berjalan kearah sana.

Semoga kedepan, isu sumbang bernyanyi cerita lelahnya para pejabat tiap hari menyiapkan amplop bagi wartawan, tidak ada lagi dalam dunia jurnalistik bangsa kita. Hilang sudah para pencuri sendal ketakutan separuh mati melihat sorotan kamera, sedang dalam memori card kamere itu banyak tersimpan file skandal petinggi hanya tidak pernah terbit. Dan semoga, wartawan kedepan hanya bisa di wakilkan dengan beberapa kata: kekasih rakyat. Amin.

Banjarmasn, akhir 2011

Minggu, 18 Desember 2011

Jiwa Yang Merdeka Ada Pada Mereka

Seorang anak sedang bertelanjang bulat di pembatas sungai belakang pasar Antasari Banjarmasn


Anak-Anak “Asing” Di Sudut Kota Banjarmasin

Tawa mereka keras bergema. Jujur menjalani hidup, apa adanya. Bahkan berlarian dengan bertelanjang tubuh bukan asalan untuk menyimpan keceriaan. Anak-anak itu, entah siapa nama mereka. Kelelahan fisik saya, membuat lupa sekedar mematri identitas diri mereka dalam memori. Bukan sengaja, hanya memang canda mereka kala itu merupakan obat bagi jiwa yang tengah lelah.

Waktu itu hari Minggu, saya tetap harus bekerja untuk menyampaikan berita-berita dari desa bagi sebuah media masa di kota. Dengan roda dua, kadang harus terantuk bebatuan jalan rusak, kadang pula berbasah-basahan di guyur hujan sebab lalai membawa mantel anti air.

Dan di hari itu kejenuhan akan bising kendaraan kota kembali menerpa, kali ini dia membuahkan migraine pada diri saya. Maka seumpama orang kelaparan mencari makanan, seperti itulah diri saya berusaha secepat mungkin membebaskan diri di tengah kemacetan kota sehabis dari desa.

Sayang usaha saya itu hanya terbentur di kenyataan bahwa lampu merah masih banyak di depan, berdekatan pula dengan pos polisi. Timbang dompet saya nantinya di geledah ketika berpura melihat lampu merah seolah hijau, maka saya putuskan untuk segera memarkir kendaraan di Pasar Antasari Banjarmasin. Seingat saya di salah satu sudut pasar ada tempat sunyi menghadap sungai Martapura.

Benarlah, siring belakang pasar yang menghadap sungai Martapura itu sedang dalam suasana bersahabat dengan jiwa. Hanya ada terlihat beberapa anak-anak bermain di salah satu kapal tongkang tua tidak terpakai lagi.

Angin berhembus, suara tawa anak-anak, dan sesekali deru mesin kelotok membelah sungai membuat saya segera menghela nafas lega. “Ah, di tengah sumpeknya urusan dunia pasar, ternyata ada juga tempa tentram seperti ini,”ujar hati saya sendiri. Bergegas, takut di hantam deadline, saya mengeluarkan laptop untuk mengetik.


Ketika satu berita selesai di ketik dan lanjut ke berita lain, maka selesai juga anak-anak bermain –main di sungai. Lantas mereka melihat ke arah saya, riang tersenyum seolah-olah saya adalah sebuah permainan. Ya, akhirnya mereka perlahan tapi pasti satu-persatu mendekatkan diri kepada saya, tanpa ragu. Meski sadar, kala itu pasti mimik wajah ini lagi sangat kusut kelelahan, yang bukan saja karena pekerjaan tapi juga karena sudah sebulanan saya hanya menatap harumnya buah durian di pinggir jalan pulang dan berangkat kerja tanpa mampu membelinya.


“lagi beapa pian? Itu laptop, lo?” “Hei jangan di pegang laptonya, tangan ikam kan basah.” “Tau ni, sudah tau basah masih haja mengikuti anggit urang.” “Hahaha, itu nah peler ikam kelihatan! Kada supan, kah?.” Mereka dengan ributnya saling bertanya dan berkomentar di sekeliling saya. Tanpa mempedulikan saya yang tengah ketakutan terhadap waktu, sebentar lagi deadline.

Namun kawan, jujur, ketika saya terpaksa harus menjawab beberapa pertanyaan mereka maka lambat laun setelah berdialog saya mendapatkan semacam kegembiraan, entah dari mana. Tawa dan keluguan serta rasa ingin tahu mereka membuat hati ini sejenak kembali berputar ke pesona dunia anak-anak, bermain. Ya, akhirnya saya putuskan sejenak bercanda dan bermain dengan mereka.


Sehabis main  di sungai, mereka menemani saya
Dan, astaga, beberapa dari mereka adalah anak jalanan sudah putus sekolah, baru saja sehabis dari kerja mengupas bawang merah di pasar. Melihat riang di wajah mereka selintas sentakan di hati. “Ah, betapa selama ini saya kurang bersukur”. Bagaimana tidak, mereka bukanlah anak-anak kaya. Bermain pun tidak di gedung futsal atau bilik warnet. Mereka ada di sini, di sudut kota, bermain bersama kotornya sungai di Banjarmasin.

Bagi mereka anak-anak jalanan, kesedihan hanya seperti sebuah mimpi, cepat datang cepat pula perginya tanpa perlu di besar-besarkan, tanpa perlu di kenang-kenang. Dari raut wajah, kelelahan itu jelas ada. Tidak seperti anak-anak manja yang sejahtera, berkulit bersih dan berwajah rupawan. Namun jangan salah, jiwa merekalah untuk zaman sekarang berhasil menggambarkan kepada kita akan dunia anak-anak yang sesungguhnya.

Mereka memang ada di jalan, dan terkadang beberapa di antara mereka harus berurusan dengan aparat kala malam-malam meminta-minta di lampu merah. Kengototan mereka kala menjulurkan tangan kotor bisa saja membuat jengkel setengah mati seorang perempuan pesolek di dalam mobil ber-AC. Ya, sampah pendidikan hanya salah satu julukan buat mereka. Tapi, kawan, jujur saya akui…dunia mereka jauh dari kemunafikan.

Setuju atau tidak, berdekatan dengan mereka saya menemukan kebahgiaan. Pendidikan mereka boleh terbelakang, moral mereka boleh jadi cercaan utama bagi umat-umat sok suci. Hanya, satu yang saya tau, hidup mereka mengalir bersama alam. Mereka tidak berusaha memanipulasi hidup mereka dengan mengenakan salah satu topeng kehidupan. Mereka adalah mereka, sekumpulan manusia yang memanfaatkan benar sisi kearifan lokal. Di tengah gencarnya serangan budaya dari bangsa luar, mereka asing membangun kebersamaan sambil berenang di salah satu sungai sudut kota Banjarmasin.

Minggu, 11 Desember 2011

Prostitusi, Ceritamu di Banjarmasin

Berkunjung ke Prostitusi Tua di Banjarmasin 

“Mas, ayu ngamar,” ujar seorang wanita umur 40 tahunan. Wajahnya terlihat lelah. Lemak-lemak tubuhnya di pamer dengan mesra. 

Ajakan itu diberikan pada saya di sebuah penginapan daerah Banjarmasin. Penginapan tersebut meski menyediakan beberapa kamar kosong untuk di inapi, namun hampir semua kamarnya sudah berpenghuni. Nah, penghuni-penghuninya sendiri adalah para wanita tunasusila. 

Mereka sudah puluhan tahun disana. Bukan penduduk lokal. Menjajakan tubuh mulai pukul 09.00 pagi sampai dinihari ketika mereka sudah merasa lelah. Sayang rata-rata umur mereka di atas 35 tahunan. Sehingga mungkin itu yang membuat saya masih bisa bertahan dengan iman seadanya. Meski tarif mereka murah, rata-rata Rp50 ribu sekali pakai. 

Penduduk sekitar, para tukang ojek, lelaki dewasa yang rumah tangganya amburadul, sering terlihat memasuki kamar-kamar di penginapan berumur puluhah tahun itu. Lokasinya yang berada di pinggir jalan raya membuat para penikmat sex instan tadi terfasilitasi. 

Tapi kawan jangan salah. Karena pada hari-hari tertentu, misalnya malam minggu, ada juga anak-anak pria belasan tahun terlihat keluar dari salah satu kamar. Anak-anak itu terlihat malu-malu manakala penulis menatap tajam bola mata mereka. 

Sepertinya anak-anak usia produktif ini sudah tidak tahan lagi untuk bisa menyalurkan hasrat sexualnya. Mereka bisanya datang bersama beberapa teman. Masuk kedalam penginapan dengan kendaraan sementara kaca helm tetap tertutup. Ya, itu memang sudah diperkirakan. Dengan tarif Rp50 ribu, ditambah lokasinya berada di pinggir jalan raya, maka tentu anak-anak ini mudah sekali untuk mencoba “rasa” salah satu wanita paruh baya di kamar. Ironisnya, wanita-wanita itu sungguh pantas buat jadi ibunya. 

Dan seperti biasa, ketika ditanya alasan kenapa para wanita ini di umur yang lanjut malah menjadi pekerja sex, maka jawabannya sudah bisa kita duga yakni masalah biaya hidup. Oh,alangkah indahnya jawaban tersebut. Ditengah banyaknya orang-orang pendatang sukses di tanah Banjarmasin ini, mereka malah terlena, mulai dari menjejakkan kakinya pertama kali dari tanah seberang hingga sekarang berjualan tubuh adalah perkerjaan yang tak tergantikan. 

Siapa yang patut disalahkan dari keadaan tersebut? Karena dengannya anak-anak usia belia dengan mudah mengecap sex di luar nikah. Apakah kita harus menudingkan telunjuk kemarahan kepada pemerintah Banjarmasin? 

Sepertinya beralasan. Bukan apa-apa. Faktanya, penginapan tersebut sudah menjadi rahasia umum. Anak kecil sampai kakek-kakek tahu di luar kepala apa-apa yang di kerjakan oleh orang-orang di penginapan. Maka rasanya tidak mungkin jika pemerintah tidak mengatahuitentang keberadaan prostitusi ini. 

Puluhan tahun berdiri tegar. Laksana sebuah dewa. Tertawa melihat perkembangan kota di sela-sela nafas lelah para anak jalanan, menghisap lem castol di salah satu sudut penginapan. Tertawa merasakan jerit meraka yang ingin bertobat ke arah jalan kebaikan, namun kita dan penguasa sama-sama acuh. Maka, seperti itu kira-kira nasibmu, kotaku.