Minggu, 18 Desember 2011

Jiwa Yang Merdeka Ada Pada Mereka

Seorang anak sedang bertelanjang bulat di pembatas sungai belakang pasar Antasari Banjarmasn


Anak-Anak “Asing” Di Sudut Kota Banjarmasin

Tawa mereka keras bergema. Jujur menjalani hidup, apa adanya. Bahkan berlarian dengan bertelanjang tubuh bukan asalan untuk menyimpan keceriaan. Anak-anak itu, entah siapa nama mereka. Kelelahan fisik saya, membuat lupa sekedar mematri identitas diri mereka dalam memori. Bukan sengaja, hanya memang canda mereka kala itu merupakan obat bagi jiwa yang tengah lelah.

Waktu itu hari Minggu, saya tetap harus bekerja untuk menyampaikan berita-berita dari desa bagi sebuah media masa di kota. Dengan roda dua, kadang harus terantuk bebatuan jalan rusak, kadang pula berbasah-basahan di guyur hujan sebab lalai membawa mantel anti air.

Dan di hari itu kejenuhan akan bising kendaraan kota kembali menerpa, kali ini dia membuahkan migraine pada diri saya. Maka seumpama orang kelaparan mencari makanan, seperti itulah diri saya berusaha secepat mungkin membebaskan diri di tengah kemacetan kota sehabis dari desa.

Sayang usaha saya itu hanya terbentur di kenyataan bahwa lampu merah masih banyak di depan, berdekatan pula dengan pos polisi. Timbang dompet saya nantinya di geledah ketika berpura melihat lampu merah seolah hijau, maka saya putuskan untuk segera memarkir kendaraan di Pasar Antasari Banjarmasin. Seingat saya di salah satu sudut pasar ada tempat sunyi menghadap sungai Martapura.

Benarlah, siring belakang pasar yang menghadap sungai Martapura itu sedang dalam suasana bersahabat dengan jiwa. Hanya ada terlihat beberapa anak-anak bermain di salah satu kapal tongkang tua tidak terpakai lagi.

Angin berhembus, suara tawa anak-anak, dan sesekali deru mesin kelotok membelah sungai membuat saya segera menghela nafas lega. “Ah, di tengah sumpeknya urusan dunia pasar, ternyata ada juga tempa tentram seperti ini,”ujar hati saya sendiri. Bergegas, takut di hantam deadline, saya mengeluarkan laptop untuk mengetik.


Ketika satu berita selesai di ketik dan lanjut ke berita lain, maka selesai juga anak-anak bermain –main di sungai. Lantas mereka melihat ke arah saya, riang tersenyum seolah-olah saya adalah sebuah permainan. Ya, akhirnya mereka perlahan tapi pasti satu-persatu mendekatkan diri kepada saya, tanpa ragu. Meski sadar, kala itu pasti mimik wajah ini lagi sangat kusut kelelahan, yang bukan saja karena pekerjaan tapi juga karena sudah sebulanan saya hanya menatap harumnya buah durian di pinggir jalan pulang dan berangkat kerja tanpa mampu membelinya.


“lagi beapa pian? Itu laptop, lo?” “Hei jangan di pegang laptonya, tangan ikam kan basah.” “Tau ni, sudah tau basah masih haja mengikuti anggit urang.” “Hahaha, itu nah peler ikam kelihatan! Kada supan, kah?.” Mereka dengan ributnya saling bertanya dan berkomentar di sekeliling saya. Tanpa mempedulikan saya yang tengah ketakutan terhadap waktu, sebentar lagi deadline.

Namun kawan, jujur, ketika saya terpaksa harus menjawab beberapa pertanyaan mereka maka lambat laun setelah berdialog saya mendapatkan semacam kegembiraan, entah dari mana. Tawa dan keluguan serta rasa ingin tahu mereka membuat hati ini sejenak kembali berputar ke pesona dunia anak-anak, bermain. Ya, akhirnya saya putuskan sejenak bercanda dan bermain dengan mereka.


Sehabis main  di sungai, mereka menemani saya
Dan, astaga, beberapa dari mereka adalah anak jalanan sudah putus sekolah, baru saja sehabis dari kerja mengupas bawang merah di pasar. Melihat riang di wajah mereka selintas sentakan di hati. “Ah, betapa selama ini saya kurang bersukur”. Bagaimana tidak, mereka bukanlah anak-anak kaya. Bermain pun tidak di gedung futsal atau bilik warnet. Mereka ada di sini, di sudut kota, bermain bersama kotornya sungai di Banjarmasin.

Bagi mereka anak-anak jalanan, kesedihan hanya seperti sebuah mimpi, cepat datang cepat pula perginya tanpa perlu di besar-besarkan, tanpa perlu di kenang-kenang. Dari raut wajah, kelelahan itu jelas ada. Tidak seperti anak-anak manja yang sejahtera, berkulit bersih dan berwajah rupawan. Namun jangan salah, jiwa merekalah untuk zaman sekarang berhasil menggambarkan kepada kita akan dunia anak-anak yang sesungguhnya.

Mereka memang ada di jalan, dan terkadang beberapa di antara mereka harus berurusan dengan aparat kala malam-malam meminta-minta di lampu merah. Kengototan mereka kala menjulurkan tangan kotor bisa saja membuat jengkel setengah mati seorang perempuan pesolek di dalam mobil ber-AC. Ya, sampah pendidikan hanya salah satu julukan buat mereka. Tapi, kawan, jujur saya akui…dunia mereka jauh dari kemunafikan.

Setuju atau tidak, berdekatan dengan mereka saya menemukan kebahgiaan. Pendidikan mereka boleh terbelakang, moral mereka boleh jadi cercaan utama bagi umat-umat sok suci. Hanya, satu yang saya tau, hidup mereka mengalir bersama alam. Mereka tidak berusaha memanipulasi hidup mereka dengan mengenakan salah satu topeng kehidupan. Mereka adalah mereka, sekumpulan manusia yang memanfaatkan benar sisi kearifan lokal. Di tengah gencarnya serangan budaya dari bangsa luar, mereka asing membangun kebersamaan sambil berenang di salah satu sungai sudut kota Banjarmasin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar