Kamis, 05 Januari 2012

Senandung Tengah Malam

Perlukah Airmata..?

"Ah, tiga setengah tahun aku kenal engkau seorang solehah, berbusana tertutup. Tiga setengah tahun di bangku kuliah. Bukan waktu yg singkat jika selama itu pula memendam cinta namun tidak pernah mengatakannya, hanya sekedar kerlingan, lemparan lelucon baik secara langsung atau via sms. Oh, iya selama itu pula jangan pernah bermimpi aku pernah menjabat tangannya meski sekedar di hari raya, sebuah hari yg tentunya menjadi kesempatan emasku untuk menyentuh telapak tangannya".

"Romantis, teman. Lantas...?".

"Romantis..? Baik kuteruskan.
Dipenghujung waktu yang kurasa tepat setelah tiga setengah tahun di hantui rindu dengannya kuputuskan untuk mengatakan cinta itu. Ya, saya sudah final, dialah yg ingn saya jadikan istri.

Kerjaan..? Saya sudah ada, lagian bukan harta yg saya cari di dunia ini. Saya bisa hdup ketika SMA hanya dengan mengayuh becak dan meraih juara kelas. Saya kayuh becak, meski orangtua pegawai negeri, untuk memuaskan jiwa petualang saya dan juga membeli apa-apa yg tidak di jatahkan orangtua sebut saja satu dua batang rokok.

Lantas apa kata gadis itu setelah saya jelaskan semua..? Tentang keinginan saya dengannya, cita-cita, pengabdian, dll. Airmata menggelanggang dari kedua bola matanya. Dengan terbata dan sulit, dia akhirnya berkata. Kalimat demi kalimat terjalin. Airmatakupun turut berempati bukan hanya sekdar berempati terhadap kalimatnya melainkan juga terhadap nasib diri saya dan dirinya.

Oh, iya. Selama masa tiga setengah tahun tersebut kami sama sadar bahwa kami mencintai satu sama lain. Namun entah kerena virus dari buku Ayat-Ayat Cinta atau memang kami yg terlalu takut sekedar mengucapkan kata cinta dan harapan, yg jelas kami sudah di gilas oleh sang waktu.

Ya, sy seorang pemuda yg tidak pernah takut meski berada di kota manapun tanpa sepeserpun, harus menuggu tiga setengah tahun untuk meminang seorang gadis, sedangkan pemuda yang saya anggap ingusan itu namun alim telah meminang gadis itu dalam waktu kenal tidak lebih dari enam bulan. Ya, sebuah lamaran yg tentu saja diharapkan oleh keluarga gadis yatim itu. Meski saya pikir dia masih perlu belajar, tapi saya akui bhwa pria tersebut memang soleh..

Dengan sisa airmata, gadis berkata bahwa jika seandainya saya berkata lebih awal, dia akan menunggu. Dan jika dia bisa meyakinkan dirinya sendiri bhwa saya ingn berdamping dengannya, dia juga akan menunggu. Sayang yang kulakukan hanya mengirim sinyal lewat tatapan mata dn sapaan basa basi lainnya"..

"Lelah, ya..? Lantas, apa yg kau lakukan....?".

"Apa yg kulakukan...? Pertanyaan bagus.
Ya, luka memang ada. Byangkan aku setia dengan seorang gadis selama tiga setengah tahun meski tidak pacaran dengannya, dan ironisnya aku memang tidak pernah mengatakan cinta itu sendiri.

Mengingat itu ingn rasanya seperti Zainuddin di cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck atau seperti Hamid dalam cerita Dibawah Lindungan Ka'bah, atau bahkan seperti Romeo dengan racunnya..".

"Bodohnya, kau..".

"Ya, meski sempat terkapar beberapa hari namun dengan berita dari desa tentang bantuan pemerintah yg belum tiba-tiba juga, aku kembali teringat dengan melon..

Melon...? Ya, melon. Cita2 yg belum kesampaian untuk membuat petani di desa tertawa senang manakala lahan-lahan sawit itu bisa mereka ambil alih dan diganti dengan melon. Betapa sia-sianya hidup pikir saya jika memutlakan cinta ala Romeo Juliet menjadi fokus kehidupan, sedangkan pria yg berharga adalah pria yang bisa mengabdikan dirinya dengan masyarakat, bangsa dan negara.

Sejak itu kuputuskan untuk mencintai sepenuh hati apa yg lebih besar yakni Merah Putih. Urusan hasrat ingn memliki sebuah rumah tempat bermain keturunan-keturunan dari darah saya, biar "Merah Putih" nanti yg berikan ke saya "dia" pasti bijaksana..

So, pemuda bangsa....? Perlukah airmata....? Tergantung kalian".

coretan iseng lewat tengah malam, mei 2011

Rabu, 04 Januari 2012

Maafkan Wahai Gadis Kota

Perjalanan Pagi di Kotabaru

Gemericik air terdengar. Pegunungan ini pernah sekali dua ukir kenangan di memori masa kecil, lewat aliran sungainya. Sekarang kembali untuk sekedar mengabarkan kepada kota bahwa di sini pernah ada jasa Belanda, dan di sini juga ada nyanyian pribumi, ramah seirama alam.

Wanita berparas ayu itu terkejut kala melihat kedatanganku. Tentu saja, karena dia sedang mandi, dengan bahu terbuka, erotis menantang mentari pagi. Sejenak terpaku, ah, wanita desa di pinggir kali di bawah salah satu lembah pegunungan.

Pipa besi umur ratusan tahun hasil tangan bangsa Belanda kala menjajah Kotabaru, yang seharusnya kugali sejarahnya malah terlupakan. Pertanyaan basa-basi kepada sang gadis terlontar, dan sama sekali tidak punya hubungan dengan pipa. Aha, senyum gadis desa salalu bisa membuat kita semua lupa akan permasalahan dunia.

Kala berbicara, tidak bisa beralih dari sorot matanya, bening. Air sungai jernih seolah adalah hasil pantulan dari keluguan wajahnya. Dan jika bercengkerama, terlihat merona gerakan bibir mungilnya. Serasa enggan, rasanya, meninggalkan sosok yang baru ku kenal ini.

Tidak lama berselang satu dua wanita dan pria paruh baya lewat memperhatikan tingkahku dengan curiga, “ngapain ni anak muda berambut gondrong tak teraratur duduk memperhatikan gadis mandi, jangan-jangan ingin menjadi Jaka Tarub abad modern,” begitu kira-kira suara hati mereka

Namun kawan, jujur kukatakan kalau gadis desa jauh lebih menenangkan jiwa ketimbang gadis-gadis di kota, meski kita akui gadis kota jauh menang dalam hal kemewahan. Tapi ingat, ini urusan perasaan, dan mewah bukan tolak ukur kita untuk berangkat mencari keindahan seni-seni hidup.

Itulah yang kudapatkan kala mencoba membanding-bandingkan aura desa dengan kota. Maafkan wahai gadis kota, jujur, kalau gadis desa memang mempunyai sisi-sisi kelembutan yang sulit kalian miliki, mungin alasannya adalah karena mereka dekat dengan alam.

Mereka yang terbiasa berjalan kaki, mengeringkan padi, bermain di atas pegunungan, akan mempunyai karakter-karakter kewanitaan seperti yang terdapat dalam cerita-cerita percintaan ala zaman Majapahit, lembut, kemayu, jalan menunduk, dan lain-lain.

Bukan, bukan maksud untuk mengembalikan status wanita seperti zaman baheula, dimana mereka kebanyakan hanya bertugas untuk menjadi wadah penyambung keturunan. Wanita memang sudah harus terus berkarya seperti yang banyak diperlihatkan diperkotaan. Dimana gegap-gempitanya telah mewarnai stasiun-stasiun televisi kita, hingga pelosok desa bisa melihatnya. Berjalan dengan gemerlap, baik di atas catwalk, atau diberbagai panggung bertemankan beragam pila-piala penghargaan.

Semua itu adalah pencapaian-pencapaian sangat membanggakan dari cerita kaum feminim di kota, mengharunkan nama Indonesia lewat ajang Miss Universe, seperti yang kita akrab dengar beberapa tahun terakhir ini. Pencapaian, dimana kemolekan gadis dipertontonkan dengan bikini, sebuah rancangan pakaian yang jelas bukan berangkat dari nilai-nilai eksotisme budaya Indonesia. Sehingga lambat laun dengan segala macam pencapaian peresteasi wanita di ajang Nasional dan Internasional, beberapa sisinya justru membuat berbagai media masa seolah telah turut berperan aktif dalam mengerosikan nilai-nilai asli budaya kita hingga ke pelosok pedesaaan.

Mari sejenak kita kembali ke masa lampau. Chut Nyak Dien, seorang pejuang wanita asal Aceh, berhasil membuat bangsa besar asal luar seperti Belanda, pontang-panting dalam mempertahankan tanah jajahannya. Hanya berselendang kain putih dan penutup kepala seperti kerudung, wanita ini berhasil mencatat namanya dalam sejarah kebanggaan dan bukan untuk masanya saja, tapi sampai sekarang.

Seyogyanya, bangsa Indonesia dewasa ini kembali merevisi arti perjunagan seorang wanita dalam pembangunan bangsa. Tentu, kita tidak akan membuat mereka berotot dengan cara memanggul senjata lantas mengirimkannya ke daerah-daerah konflik. Hanya sebaiknya, kita sedari dini menghentikkan segala macam kegiatan-kegiatan yang malah membuat kaum wanita Indonesia manja, dan hadir hanya sebagai objek bagi dunia untuk dinikmati sisi kecantikan sensualnya.

Jangan sampai kita kelak akan melihat para remaja putri Indonesia menjadi barang langka, hanya bisa ditemukan kalau kita pergi ke Mall-mall, pojok taman, sampul-sampul majalah, diberbagai merek kosmetik terkenal, video-video klip lagu cinta picisan. Para pemuda kita sedari dulu merindukan sosok wanita yang bukan saja bisa menjadi pasangan yang indah dalam mengarungi biduk cinta sebuah rumah tangga, lebih dari itu, mereka berharap para wanita bisa menjadi sosok Ibu bagi gerak perjuangan untuk selulurh pribumi berjalan ke arah kibaran bangga Sang Merah Putih.