Minggu, 20 Februari 2011

Buat Rafi’ah



Buat Rafi’ah
Alpagatani
Dinihari di Banjarmasin, 07 April 2010

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Perjalanan dinihari kali ini menyisakan kabut pada relung perasaan sayang dan cinta. Logika coba berdebat dengan hati tentang apa yang kurasa. Beberapa kesimpulan tentu terlahir dan inilah yang akan dipaparkan melalui goresan ini.
Goresan ini meski kukhususkan buatmu namun pintu terbuka bagi yang lain untuk sekedar membuka cakrawala kebebasan beropini berdasar. Mari sejenak bercengkrama melalui dunia yang menamakan dirinya sastra meski mungkin percakapan ini sifatnya terjalin satu arah bagi para pembaca yang jiwanya bukan menjadi target sasaran anak panah kalimat.
Sebuah organisasi kemahasiswaan adalah ajang untuk melatih diri kedepannya sehingga bisa diharapakan melalui pengalaman-penglaman yang ada nantinya mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkualitas. Manakala sebuah organisasi kemahsiswaan tersisipi oleh apa yang disebut “politik praktis jauh dari norma” maka jangan salahkan jika kampus tersebut akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang selalu mencampuradukkan antara pengabdian dan bisnis dalam hubungan sebab akibat. Parahnya jika hukum pengabdian dan bisnis mempunyai teori tertentu yaitu teori hukum ekonomi.
Tidak ada salahnya jika sebuah kegiatan kemahasiswaan yang pada awalnya ditujukan untuk pengabdian ternyata membawa banyak manfa’at, finansial misalnya, dan itu bukan merupakan upah atau imbalan melainkan sekedar gambaran bahwa ilmu memang bisa mengangkat derajat seseorang. Yang menjadi masalah adalah manakala kegiatan tersebut memang ditujukan untuk meningkatkan strata ekonomi kita maka jatuhlah harga seorang mahasiswa beserta ilmu dalam perbandingan terbalik dengan strata ekonomi tadi.
Wanita adalah makhluk terhormat sama halnya dengan pria. Mereka mempunyai hak yang sama dalam organisasi yakni hak untuk mengabdi bukan hak untuk memimpin tampuk (ajaran Islam mengatur hal ini dengan sangat bijaksana). Mengapa demikian? Hal tersebut disebabkan pada praktek pelaksanaan tanggungjawab. Seorang wanita jika harus berpergian selama lebih dari tiga hari maka dia harus ditemani oleh muhrimnya. Masih banyak lagi alasan lain jika harus dipaparkan namun bukan kapasitas saya menjelaskan hal itu panjang lebar.
Sisi praktek pelaksanaan tanggungjawab itu yang banyak di abaikan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia organisasi. Belum pernah saya menemukan sebuah kegiatan yang melibatkan perawan muda dalam ranah kepanitiaan meminta ijin kepada orangtua perawan tadi manakala dalam pelaksanaan tanggungjawab nantinya akan memasuki ranah-ranah kekhawatiran dan kecemasan dari si orang tua. Ini adalah pemakaian tenaga yang tidak dewasa lagi egois. Kegelisahan dan kekhawatiran merupakan sebuah kondisi mental yang sangat mahal harganya jika di tebus dalam jumlah nominal meski itu mencapai angka enam digit lebih dalam rupiah.
Orangtua mana yang tidak cemas manakala mengetahui anak perawannya berada pada sebuah tempat, bekerja dalam sebuah tanggungjawab keorganisasian atau kepanitiaan yang judul kegiatannya saja tidak mereka mengerti apalagi sistem kerjanya. Yang mereka tahu bahwa anak mereka “sangat dibutuhkan dedikasinya untuk melaksanakan tugas” tanpa ada jaminan bahwa anak mereka akan selamat baik dari sisi norma agama maupun pandangan adat. Betapa berdosanya kegiatan tersebut manakala sepulangnya dari melaksanakan tugas perawan mereka berkata: “Mama, pada waktu kegiatan saya mendapat seorang kekasih. Kami sudah menjalin ikrar sehidup semati dan itu disaksikan oleh dan hanya taburan bintang dan senyum rembulan disebuah pojok alam terbuka setengah remang”.
Tidak bisa di abaikan jika terkadang cara kerja seorang wanita lebih baik di banding pria utamanya dalam bidang yang memerlukan bakat kejelian berbalut kesabaran dan keterampilan. Merupakan anugrah dan seni dengan adanya perbedaan antara pria dan wanita. Memperlakukannya tentulah juga harus bermodal dengan seni. Memperkerjakan seorang wanita haruslah melihat bahwasanya tanggungjawab yang di bebankan tidak melanggar keindahan anugrah dan seni itu sendiri. Hendaklah anda menempatkannya sesuai apa yang keindahan itu sendiri inginkan. Jika itu yang anda lakukan maka kalian bisa melihat bahwa prduktifitas bersinar dengan cemerlang di tempat masing-masing antara pria dan wanita bersama sebuah jalinan dimana kehormatan menjadi sebuah fokus yang terangkat.
     Jangan biarkan seorang perawan di malam dingin berkeliaran mencari kertas pada sebuah warung yang hampir tutup dalam sebuah organisasi/kegiatan yang terdiri dari beberapa otot keras kaum pria. Sementara bulan di atas sana merdu bersinar oleh cahaya matahari. Bukankah bulan dan matahari tidak pernah bertemu? Dan ternyata itu bukan penghalang untuk saling berkerjasama dalam sebuah organisasi dimana visinya adalah untuk menyinari bumi… :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar