![]() |
Seorang anak sedang bertelanjang bulat di pembatas sungai belakang pasar Antasari Banjarmasn |
Anak-Anak “Asing”
Di Sudut Kota Banjarmasin
Tawa mereka keras
bergema. Jujur menjalani hidup, apa adanya. Bahkan berlarian dengan
bertelanjang tubuh bukan asalan untuk menyimpan keceriaan. Anak-anak itu, entah
siapa nama mereka. Kelelahan fisik saya, membuat lupa sekedar mematri identitas
diri mereka dalam memori. Bukan sengaja, hanya memang canda mereka kala itu
merupakan obat bagi jiwa yang tengah lelah.
Waktu itu hari Minggu, saya tetap harus bekerja untuk menyampaikan berita-berita dari desa bagi sebuah media masa di kota. Dengan roda dua, kadang harus terantuk bebatuan jalan rusak, kadang pula berbasah-basahan di guyur hujan sebab lalai membawa mantel anti air.
Dan di hari itu
kejenuhan akan bising kendaraan kota kembali menerpa, kali ini dia membuahkan migraine
pada diri saya. Maka seumpama orang kelaparan mencari makanan, seperti itulah
diri saya berusaha secepat mungkin membebaskan diri di tengah kemacetan kota
sehabis dari desa.
Sayang usaha saya
itu hanya terbentur di kenyataan bahwa lampu merah masih banyak di depan,
berdekatan pula dengan pos polisi. Timbang dompet saya nantinya di geledah
ketika berpura melihat lampu merah seolah hijau, maka saya putuskan untuk
segera memarkir kendaraan di Pasar Antasari Banjarmasin. Seingat saya di salah
satu sudut pasar ada tempat sunyi menghadap sungai Martapura.
Benarlah, siring belakang pasar yang menghadap sungai Martapura itu sedang dalam suasana bersahabat dengan jiwa. Hanya ada terlihat beberapa anak-anak bermain di salah satu kapal tongkang tua tidak terpakai lagi.
Angin berhembus,
suara tawa anak-anak, dan sesekali deru mesin kelotok membelah sungai membuat
saya segera menghela nafas lega. “Ah, di tengah sumpeknya urusan dunia pasar,
ternyata ada juga tempa tentram seperti ini,”ujar hati saya sendiri. Bergegas, takut
di hantam deadline, saya mengeluarkan laptop untuk mengetik.
Ketika satu
berita selesai di ketik dan lanjut ke berita lain, maka selesai juga anak-anak
bermain –main di sungai. Lantas mereka melihat ke arah saya, riang tersenyum
seolah-olah saya adalah sebuah permainan. Ya, akhirnya mereka perlahan tapi
pasti satu-persatu mendekatkan diri kepada saya, tanpa ragu. Meski sadar, kala
itu pasti mimik wajah ini lagi sangat kusut kelelahan, yang bukan saja karena
pekerjaan tapi juga karena sudah sebulanan saya hanya menatap harumnya buah
durian di pinggir jalan pulang dan berangkat kerja tanpa mampu membelinya.
“lagi beapa pian? Itu laptop, lo?” “Hei jangan di pegang laptonya,
tangan ikam kan basah.” “Tau ni,
sudah tau basah masih haja mengikuti
anggit urang.” “Hahaha, itu nah peler
ikam kelihatan! Kada supan, kah?.”
Mereka dengan ributnya saling bertanya dan berkomentar di sekeliling saya. Tanpa
mempedulikan saya yang tengah ketakutan terhadap waktu, sebentar lagi deadline.
Namun kawan,
jujur, ketika saya terpaksa harus menjawab beberapa pertanyaan mereka maka
lambat laun setelah berdialog saya mendapatkan semacam kegembiraan, entah dari
mana. Tawa dan keluguan serta rasa ingin tahu mereka membuat hati ini sejenak
kembali berputar ke pesona dunia anak-anak, bermain. Ya, akhirnya saya putuskan
sejenak bercanda dan bermain dengan mereka.
![]() |
Sehabis main di sungai, mereka menemani saya |
Dan, astaga,
beberapa dari mereka adalah anak jalanan sudah putus sekolah, baru saja sehabis
dari kerja mengupas bawang merah di pasar. Melihat riang di wajah mereka
selintas sentakan di hati. “Ah, betapa selama ini saya kurang bersukur”. Bagaimana
tidak, mereka bukanlah anak-anak kaya. Bermain pun tidak di gedung futsal atau
bilik warnet. Mereka ada di sini, di sudut kota, bermain bersama kotornya
sungai di Banjarmasin.
Bagi mereka anak-anak jalanan, kesedihan hanya seperti sebuah mimpi, cepat datang cepat pula
perginya tanpa perlu di besar-besarkan, tanpa perlu di kenang-kenang. Dari raut
wajah, kelelahan itu jelas ada. Tidak seperti anak-anak manja yang sejahtera,
berkulit bersih dan berwajah rupawan. Namun jangan salah, jiwa merekalah untuk
zaman sekarang berhasil menggambarkan kepada kita akan dunia anak-anak yang
sesungguhnya.
Mereka memang ada
di jalan, dan terkadang beberapa di antara mereka harus berurusan dengan aparat
kala malam-malam meminta-minta di lampu merah. Kengototan mereka kala
menjulurkan tangan kotor bisa saja membuat jengkel setengah mati seorang
perempuan pesolek di dalam mobil ber-AC. Ya, sampah pendidikan hanya salah satu
julukan buat mereka. Tapi, kawan, jujur saya akui…dunia mereka jauh dari
kemunafikan.
Setuju atau
tidak, berdekatan dengan mereka saya menemukan kebahgiaan. Pendidikan mereka
boleh terbelakang, moral mereka boleh jadi cercaan utama bagi umat-umat sok
suci. Hanya, satu yang saya tau, hidup mereka mengalir bersama alam. Mereka tidak
berusaha memanipulasi hidup mereka dengan mengenakan salah satu topeng
kehidupan. Mereka adalah mereka, sekumpulan manusia yang memanfaatkan benar
sisi kearifan lokal. Di tengah gencarnya serangan budaya dari bangsa luar, mereka
asing membangun kebersamaan sambil berenang di salah satu sungai sudut kota
Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar