Antara Harta dan Moral Wartawan
Jika ada
pekerjaan yang paling dibutuhkan oleh publik sekarang ini, maka sepertinya adalah
wartawan. Sudah biasa, kita setiap pagi menanti berita-berita para antek-antek
jurnalis ini mengabarkan berbagai hal, lewat media cetak juga elektronik. Cerita
suka atau berbagai kasus hitam sekarang sudah seperti sinetron populer, ceritanya
tambah tegang namun endingnya tak pernah ketemu.
Dari itu
sebagian besar masyarakat merasa kurang lengkap hari mereka jika di pagi belum
sempat membaca, meski hanya judul, halaman pertama dari koran. Belum sempurna
berangkat kerja tanpa tahu berita terhangat dari sebuah stasiun televisi
terlebih dahulu. Maka sudah menjadi kebutuhan ternyata mengetahui berita dari
media masa dalam keseharian.
Mulia memang
pekerjaan mereka, para wartawan, manakala dengan beritanya, nelayan misalnya jadi
tahu bahwa ada bantuan lunak dari sebuah bank tahun depan. Atau seorang guru,
setelah sekian lama gajinya disunat akhirnya bisa kembali normal setelah
jeritannya kepada penguasa diberitakan.
Itu salah satu
cerita. Cerita lainnya sangat bertolak belakang. Tahukah anda kalau para
instansi pemerintah sering mengaku kesal dengan para awak media ini? Kedatangan
wartawan berkungjung ke instansi mereka bisa saja menjadi salah satu kegiatan
pemborosan kas negara. Pasalnya, instansi ini entah kenapa meresa wajib untuk
menyerahkan amplop kepada wartawan seusai wawancara atau liputan.
Maka anda bayangkan
saja jika dalam sehari ada sepuluh wartawan berkunjung ke kantor, maka berapa
banyak nominal keluar di waktu itu. Lalu bagaiman seandaianya kejadian sama
berulang selama sebulan?! Tentu bukan saja petinggi instansi bersangkutan akan
meradang dan dongkol setengah mati, namun juga anggaran bulanan harus
terpangkas tanpa bisa diaudit, karena keluarnya amplop sudah di pesan agar
semua orang berpura tida tahu.
Sedangkan wartawan
sendiri, terutama mereka para peliput bidang politik kepemerintahan tahu benar
akan nimatnya pekerjaan mencari berita-berita penuh miring. Kalau sudah akrab
dengan pejabat, semua bisa di atur. Tinggal si wartawan pintar-pintar menyimpan
kartu truf, kasus skandal pejabat,
misalnya.
Bukan rahasia lagi,
ketika pejabat berbisik minta tolong, katanya, agar berita itu jangan di
terbitkan, cukup berita ini saja. Sembari berkata demikian tangannya trampil
menyiapkan amplop ala pesulap Dedy Corbuzier. Slrup, amplop masuk kantong,
berita di simpan wartawan dalam brangkas bersandi.
Bukan rahasia
pula, kalau hanya dengan gajih sebatas cukup makan dan transport, wartawan mampu
membeli rumah, mobil, dan perkakas mewah lainnya dalam waktu singkat. Maka bisa
jadi itu adalah kumpulan dari puing-puing keringat rakyar lewat tangan
politisi. Ironis, di mana rakyat justru menanti suara kebenaran, wartawan
justru bermain di indahnya dunia kemunafikan para pejabat.

Bagi saya dan
rakyat, wartawan adalah mereka yang mau berpanas hujan mencari kebenaran,
mengabarkan kabar gembira untuk publik bahwa hak mereka masih ada di kas pemerintah
bisa di ambil dalam waktu dekat.
Wartawan adalah
dia, berjalan tanpa keluh menapaki siang, kadang tersesat di gelap malam. Tidur
di rumah-rumah pribumi, berteman dengan alam, bercengkerama bersama nelayan
juga petani. Lantas menuliskan semua itu untuk petinggi bangsa, untuk petinggi
dunia bahwa kita Indonesia dari dulu dan sekarang tetap menyimpan kearifan
lokal. Dimana gotong royong, tembang lir
ilir, paris barantai, kambanglah bungo, jali-jali, sampai lagu yamko
rambe yamko masih dan terus ada di keseharian anak-anak desa.
Bahwa kita
Indonesia, ada potensi tersimpan di setiap jengkal pulau-pulaunya. Para
politisi urakan, para pemimpin korup, mereka semua bukan anak bangsa, mereka
hanyalah sekedar kerak yang numpang makan di tanah pusaka ini. Dan, tugas
wartawan adalah dengan beritanya mengabarkan kalau Indonesia sudah selayaknya
di pimpin seorang nelayan atau petani, karena itu jati diri bangsa. Bukan dipimpin
barisan kerak berdasi itu.
Meski dengan
mengabarkan itu para wartawan harus berdarah-darah. Semua terus di suarakan
sampai nanti semua pejabat di Indonesia tahu persis bahwa kita akan menjadi
bangsa besar apabila kelautan dan potensi darat menjadi milik pribumi dan di
jalankan dengan gotong royong. Sedang tidak ada lagi kebanggaan menjadi
presiden, karena toh presiden sendiri tidak lebih dari seorang petani tulen dan
kebetulan mendapat amanat berupa cinta dari rakyat. Sungguh, wartawan adalah
dia yang beritanya berjalan kearah sana.
Semoga kedepan,
isu sumbang bernyanyi cerita lelahnya para pejabat tiap hari menyiapkan amplop
bagi wartawan, tidak ada lagi dalam dunia jurnalistik bangsa kita. Hilang sudah
para pencuri sendal ketakutan separuh mati melihat sorotan kamera, sedang dalam
memori card kamere itu banyak
tersimpan file skandal petinggi hanya tidak pernah terbit. Dan semoga, wartawan
kedepan hanya bisa di wakilkan dengan beberapa kata: kekasih rakyat. Amin.
Banjarmasn,
akhir 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar