Sabtu, 24 Desember 2011

Wartawan Bukan Hartawan



Antara Harta dan Moral Wartawan


Jika ada pekerjaan yang paling dibutuhkan oleh publik sekarang ini, maka sepertinya adalah wartawan. Sudah biasa, kita setiap pagi menanti berita-berita para antek-antek jurnalis ini mengabarkan berbagai hal, lewat media cetak juga elektronik. Cerita suka atau berbagai kasus hitam sekarang sudah seperti sinetron populer, ceritanya tambah tegang namun endingnya tak pernah ketemu.

Dari itu sebagian besar masyarakat merasa kurang lengkap hari mereka jika di pagi belum sempat membaca, meski hanya judul, halaman pertama dari koran. Belum sempurna berangkat kerja tanpa tahu berita terhangat dari sebuah stasiun televisi terlebih dahulu. Maka sudah menjadi kebutuhan ternyata mengetahui berita dari media masa dalam keseharian.

Mulia memang pekerjaan mereka, para wartawan, manakala dengan beritanya, nelayan misalnya jadi tahu bahwa ada bantuan lunak dari sebuah bank tahun depan. Atau seorang guru, setelah sekian lama gajinya disunat akhirnya bisa kembali normal setelah jeritannya kepada penguasa diberitakan.

Itu salah satu cerita. Cerita lainnya sangat bertolak belakang. Tahukah anda kalau para instansi pemerintah sering mengaku kesal dengan para awak media ini? Kedatangan wartawan berkungjung ke instansi mereka bisa saja menjadi salah satu kegiatan pemborosan kas negara. Pasalnya, instansi ini entah kenapa meresa wajib untuk menyerahkan amplop kepada wartawan seusai wawancara atau liputan.

Maka anda bayangkan saja jika dalam sehari ada sepuluh wartawan berkunjung ke kantor, maka berapa banyak nominal keluar di waktu itu. Lalu bagaiman seandaianya kejadian sama berulang selama sebulan?! Tentu bukan saja petinggi instansi bersangkutan akan meradang dan dongkol setengah mati, namun juga anggaran bulanan harus terpangkas tanpa bisa diaudit, karena keluarnya amplop sudah di pesan agar semua orang berpura tida tahu.

Sedangkan wartawan sendiri, terutama mereka para peliput bidang politik kepemerintahan tahu benar akan nimatnya pekerjaan mencari berita-berita penuh miring. Kalau sudah akrab dengan pejabat, semua bisa di atur. Tinggal si wartawan pintar-pintar menyimpan kartu truf, kasus skandal pejabat, misalnya.

Bukan rahasia lagi, ketika pejabat berbisik minta tolong, katanya, agar berita itu jangan di terbitkan, cukup berita ini saja. Sembari berkata demikian tangannya trampil menyiapkan amplop ala pesulap Dedy Corbuzier. Slrup, amplop masuk kantong, berita di simpan wartawan dalam brangkas bersandi.

Bukan rahasia pula, kalau hanya dengan gajih sebatas cukup makan dan transport, wartawan mampu membeli rumah, mobil, dan perkakas mewah lainnya dalam waktu singkat. Maka bisa jadi itu adalah kumpulan dari puing-puing keringat rakyar lewat tangan politisi. Ironis, di mana rakyat justru menanti suara kebenaran, wartawan justru bermain di indahnya dunia kemunafikan para pejabat.


Jadi siapa sebenarnya wartawan ini?! Maka bagi saya pribadi, wartawan itu sebenarnya bukan mereka yang tiap hari mencari berita dan menyampaikannya ke publik, memilih berita yang aman disampaikan dan menjual sebagian berita kepada pemerintah. Mereka yang seperti itu, bagi saya tidak lebih dari sekedar manusia sakit mental, perlu dikasihani sesegera mungkin. Dan bangsa jelas tidak butuh mereka.

Bagi saya dan rakyat, wartawan adalah mereka yang mau berpanas hujan mencari kebenaran, mengabarkan kabar gembira untuk publik bahwa hak mereka masih ada di kas pemerintah bisa di ambil dalam waktu dekat.

Wartawan adalah dia, berjalan tanpa keluh menapaki siang, kadang tersesat di gelap malam. Tidur di rumah-rumah pribumi, berteman dengan alam, bercengkerama bersama nelayan juga petani. Lantas menuliskan semua itu untuk petinggi bangsa, untuk petinggi dunia bahwa kita Indonesia dari dulu dan sekarang tetap menyimpan kearifan lokal. Dimana gotong royong, tembang lir ilir, paris barantai, kambanglah bungo, jali-jali, sampai lagu yamko rambe yamko masih dan terus ada di keseharian anak-anak desa.

Bahwa kita Indonesia, ada potensi tersimpan di setiap jengkal pulau-pulaunya. Para politisi urakan, para pemimpin korup, mereka semua bukan anak bangsa, mereka hanyalah sekedar kerak yang numpang makan di tanah pusaka ini. Dan, tugas wartawan adalah dengan beritanya mengabarkan kalau Indonesia sudah selayaknya di pimpin seorang nelayan atau petani, karena itu jati diri bangsa. Bukan dipimpin barisan kerak berdasi itu.

Meski dengan mengabarkan itu para wartawan harus berdarah-darah. Semua terus di suarakan sampai nanti semua pejabat di Indonesia tahu persis bahwa kita akan menjadi bangsa besar apabila kelautan dan potensi darat menjadi milik pribumi dan di jalankan dengan gotong royong. Sedang tidak ada lagi kebanggaan menjadi presiden, karena toh presiden sendiri tidak lebih dari seorang petani tulen dan kebetulan mendapat amanat berupa cinta dari rakyat. Sungguh, wartawan adalah dia yang beritanya berjalan kearah sana.

Semoga kedepan, isu sumbang bernyanyi cerita lelahnya para pejabat tiap hari menyiapkan amplop bagi wartawan, tidak ada lagi dalam dunia jurnalistik bangsa kita. Hilang sudah para pencuri sendal ketakutan separuh mati melihat sorotan kamera, sedang dalam memori card kamere itu banyak tersimpan file skandal petinggi hanya tidak pernah terbit. Dan semoga, wartawan kedepan hanya bisa di wakilkan dengan beberapa kata: kekasih rakyat. Amin.

Banjarmasn, akhir 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar