Rabu, 04 Januari 2012

Maafkan Wahai Gadis Kota

Perjalanan Pagi di Kotabaru

Gemericik air terdengar. Pegunungan ini pernah sekali dua ukir kenangan di memori masa kecil, lewat aliran sungainya. Sekarang kembali untuk sekedar mengabarkan kepada kota bahwa di sini pernah ada jasa Belanda, dan di sini juga ada nyanyian pribumi, ramah seirama alam.

Wanita berparas ayu itu terkejut kala melihat kedatanganku. Tentu saja, karena dia sedang mandi, dengan bahu terbuka, erotis menantang mentari pagi. Sejenak terpaku, ah, wanita desa di pinggir kali di bawah salah satu lembah pegunungan.

Pipa besi umur ratusan tahun hasil tangan bangsa Belanda kala menjajah Kotabaru, yang seharusnya kugali sejarahnya malah terlupakan. Pertanyaan basa-basi kepada sang gadis terlontar, dan sama sekali tidak punya hubungan dengan pipa. Aha, senyum gadis desa salalu bisa membuat kita semua lupa akan permasalahan dunia.

Kala berbicara, tidak bisa beralih dari sorot matanya, bening. Air sungai jernih seolah adalah hasil pantulan dari keluguan wajahnya. Dan jika bercengkerama, terlihat merona gerakan bibir mungilnya. Serasa enggan, rasanya, meninggalkan sosok yang baru ku kenal ini.

Tidak lama berselang satu dua wanita dan pria paruh baya lewat memperhatikan tingkahku dengan curiga, “ngapain ni anak muda berambut gondrong tak teraratur duduk memperhatikan gadis mandi, jangan-jangan ingin menjadi Jaka Tarub abad modern,” begitu kira-kira suara hati mereka

Namun kawan, jujur kukatakan kalau gadis desa jauh lebih menenangkan jiwa ketimbang gadis-gadis di kota, meski kita akui gadis kota jauh menang dalam hal kemewahan. Tapi ingat, ini urusan perasaan, dan mewah bukan tolak ukur kita untuk berangkat mencari keindahan seni-seni hidup.

Itulah yang kudapatkan kala mencoba membanding-bandingkan aura desa dengan kota. Maafkan wahai gadis kota, jujur, kalau gadis desa memang mempunyai sisi-sisi kelembutan yang sulit kalian miliki, mungin alasannya adalah karena mereka dekat dengan alam.

Mereka yang terbiasa berjalan kaki, mengeringkan padi, bermain di atas pegunungan, akan mempunyai karakter-karakter kewanitaan seperti yang terdapat dalam cerita-cerita percintaan ala zaman Majapahit, lembut, kemayu, jalan menunduk, dan lain-lain.

Bukan, bukan maksud untuk mengembalikan status wanita seperti zaman baheula, dimana mereka kebanyakan hanya bertugas untuk menjadi wadah penyambung keturunan. Wanita memang sudah harus terus berkarya seperti yang banyak diperlihatkan diperkotaan. Dimana gegap-gempitanya telah mewarnai stasiun-stasiun televisi kita, hingga pelosok desa bisa melihatnya. Berjalan dengan gemerlap, baik di atas catwalk, atau diberbagai panggung bertemankan beragam pila-piala penghargaan.

Semua itu adalah pencapaian-pencapaian sangat membanggakan dari cerita kaum feminim di kota, mengharunkan nama Indonesia lewat ajang Miss Universe, seperti yang kita akrab dengar beberapa tahun terakhir ini. Pencapaian, dimana kemolekan gadis dipertontonkan dengan bikini, sebuah rancangan pakaian yang jelas bukan berangkat dari nilai-nilai eksotisme budaya Indonesia. Sehingga lambat laun dengan segala macam pencapaian peresteasi wanita di ajang Nasional dan Internasional, beberapa sisinya justru membuat berbagai media masa seolah telah turut berperan aktif dalam mengerosikan nilai-nilai asli budaya kita hingga ke pelosok pedesaaan.

Mari sejenak kita kembali ke masa lampau. Chut Nyak Dien, seorang pejuang wanita asal Aceh, berhasil membuat bangsa besar asal luar seperti Belanda, pontang-panting dalam mempertahankan tanah jajahannya. Hanya berselendang kain putih dan penutup kepala seperti kerudung, wanita ini berhasil mencatat namanya dalam sejarah kebanggaan dan bukan untuk masanya saja, tapi sampai sekarang.

Seyogyanya, bangsa Indonesia dewasa ini kembali merevisi arti perjunagan seorang wanita dalam pembangunan bangsa. Tentu, kita tidak akan membuat mereka berotot dengan cara memanggul senjata lantas mengirimkannya ke daerah-daerah konflik. Hanya sebaiknya, kita sedari dini menghentikkan segala macam kegiatan-kegiatan yang malah membuat kaum wanita Indonesia manja, dan hadir hanya sebagai objek bagi dunia untuk dinikmati sisi kecantikan sensualnya.

Jangan sampai kita kelak akan melihat para remaja putri Indonesia menjadi barang langka, hanya bisa ditemukan kalau kita pergi ke Mall-mall, pojok taman, sampul-sampul majalah, diberbagai merek kosmetik terkenal, video-video klip lagu cinta picisan. Para pemuda kita sedari dulu merindukan sosok wanita yang bukan saja bisa menjadi pasangan yang indah dalam mengarungi biduk cinta sebuah rumah tangga, lebih dari itu, mereka berharap para wanita bisa menjadi sosok Ibu bagi gerak perjuangan untuk selulurh pribumi berjalan ke arah kibaran bangga Sang Merah Putih.

4 komentar:

  1. nice wrote.. deep..
    tapi, ada hal yang kurang berkenan kawan, bahwa wanita (dimana pun ia) tidak untuk dibanding-bandingkan. setiap diri punya nilai, entah itu kualitas dunia maupun akhirat.

    satu lagi, tak perlu minta maaf kepada gadis kota. karena semua bisa saja benar, semua bisa saja salah. we never know.

    ^___^v

    BalasHapus
  2. astaga...jd alpagatani tu kam kah Di?????? *Syok*

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Mbak Eno, justru karena saya sedang berkicau makanya hatur maaf. Ga setiap burung pinter berkicau, tentunya.

    Neng Fifit, piye toh..? :D, untung ga pingsan..

    BalasHapus