Perjalanan Pagi di Kotabaru
Gemericik air terdengar. Pegunungan ini pernah sekali dua
ukir kenangan di memori masa kecil, lewat aliran sungainya. Sekarang kembali
untuk sekedar mengabarkan kepada kota bahwa di sini pernah ada jasa Belanda,
dan di sini juga ada nyanyian pribumi, ramah seirama alam.
Wanita berparas ayu itu terkejut kala melihat kedatanganku.
Tentu saja, karena dia sedang mandi, dengan bahu terbuka, erotis menantang
mentari pagi. Sejenak terpaku, ah, wanita desa di pinggir kali di bawah salah satu
lembah pegunungan.
Pipa besi umur ratusan tahun hasil tangan bangsa Belanda kala
menjajah Kotabaru, yang seharusnya kugali sejarahnya malah terlupakan.
Pertanyaan basa-basi kepada sang gadis terlontar, dan sama sekali tidak punya
hubungan dengan pipa. Aha, senyum gadis desa salalu bisa membuat kita semua
lupa akan permasalahan dunia.
Kala berbicara, tidak bisa beralih dari sorot matanya,
bening. Air sungai jernih seolah adalah hasil pantulan dari keluguan wajahnya.
Dan jika bercengkerama, terlihat merona gerakan bibir mungilnya. Serasa enggan,
rasanya, meninggalkan sosok yang baru ku kenal ini.
Tidak lama berselang satu dua wanita dan pria paruh baya
lewat memperhatikan tingkahku dengan curiga, “ngapain ni anak muda berambut
gondrong tak teraratur duduk memperhatikan gadis mandi, jangan-jangan ingin
menjadi Jaka Tarub abad modern,” begitu kira-kira suara hati mereka
Namun kawan, jujur kukatakan kalau gadis desa jauh lebih
menenangkan jiwa ketimbang gadis-gadis di kota, meski kita akui gadis kota jauh
menang dalam hal kemewahan. Tapi ingat, ini urusan perasaan, dan mewah bukan
tolak ukur kita untuk berangkat mencari keindahan seni-seni hidup.
Itulah yang kudapatkan kala mencoba membanding-bandingkan aura
desa dengan kota. Maafkan wahai gadis kota, jujur, kalau gadis desa memang
mempunyai sisi-sisi kelembutan yang sulit kalian miliki, mungin alasannya
adalah karena mereka dekat dengan alam.
Mereka yang terbiasa berjalan kaki, mengeringkan padi,
bermain di atas pegunungan, akan mempunyai karakter-karakter kewanitaan seperti
yang terdapat dalam cerita-cerita percintaan ala zaman Majapahit, lembut,
kemayu, jalan menunduk, dan lain-lain.
Bukan, bukan maksud untuk mengembalikan status wanita seperti
zaman baheula, dimana mereka kebanyakan hanya bertugas untuk menjadi wadah
penyambung keturunan. Wanita memang sudah harus terus berkarya seperti yang
banyak diperlihatkan diperkotaan. Dimana gegap-gempitanya telah mewarnai
stasiun-stasiun televisi kita, hingga pelosok desa bisa melihatnya. Berjalan
dengan gemerlap, baik di atas catwalk, atau diberbagai panggung bertemankan
beragam pila-piala penghargaan.

Mari sejenak kita kembali ke masa lampau. Chut Nyak Dien,
seorang pejuang wanita asal Aceh, berhasil membuat bangsa besar asal luar seperti
Belanda, pontang-panting dalam mempertahankan tanah jajahannya. Hanya berselendang
kain putih dan penutup kepala seperti kerudung, wanita ini berhasil mencatat
namanya dalam sejarah kebanggaan dan bukan untuk masanya saja, tapi sampai
sekarang.
Seyogyanya, bangsa Indonesia dewasa ini kembali merevisi arti
perjunagan seorang wanita dalam pembangunan bangsa. Tentu, kita tidak akan
membuat mereka berotot dengan cara memanggul senjata lantas mengirimkannya ke
daerah-daerah konflik. Hanya sebaiknya, kita sedari dini menghentikkan segala
macam kegiatan-kegiatan yang malah membuat kaum wanita Indonesia manja, dan
hadir hanya sebagai objek bagi dunia untuk dinikmati sisi kecantikan sensualnya.
Jangan sampai kita kelak akan melihat para remaja putri
Indonesia menjadi barang langka, hanya bisa ditemukan kalau kita pergi ke
Mall-mall, pojok taman, sampul-sampul majalah, diberbagai merek kosmetik
terkenal, video-video klip lagu cinta picisan. Para pemuda kita sedari dulu
merindukan sosok wanita yang bukan saja bisa menjadi pasangan yang indah dalam
mengarungi biduk cinta sebuah rumah tangga, lebih dari itu, mereka berharap
para wanita bisa menjadi sosok Ibu bagi gerak perjuangan untuk selulurh pribumi
berjalan ke arah kibaran bangga Sang Merah Putih.
nice wrote.. deep..
BalasHapustapi, ada hal yang kurang berkenan kawan, bahwa wanita (dimana pun ia) tidak untuk dibanding-bandingkan. setiap diri punya nilai, entah itu kualitas dunia maupun akhirat.
satu lagi, tak perlu minta maaf kepada gadis kota. karena semua bisa saja benar, semua bisa saja salah. we never know.
^___^v
astaga...jd alpagatani tu kam kah Di?????? *Syok*
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMbak Eno, justru karena saya sedang berkicau makanya hatur maaf. Ga setiap burung pinter berkicau, tentunya.
BalasHapusNeng Fifit, piye toh..? :D, untung ga pingsan..